Tuesday 8 November 2016

Cerpen ''FATAMORGANA KU''






Kaki ku bergetar. Padahal belum genap dua menit aku berdiri disini. Semua mata yang memandangku seakan menjadikan nyaliku semakin menipis. Untuk itu kulakukan kebiasaanku. Mengetukkan kakiku ke lantai.
            “Silahkan…”, sebuah suara membuyarkan lamunanku.
            Ketukan kakiku terhenti. Aku mulai dapat fokus memandangi satu per satu penghuni di ruangan ini. Bibirku yang kaku perlahan dapat ku gerakkan.
            “Aku Monica. Pindahan dari Bogor.”, suaraku sedikit bergetar.
            Kemudian aku berjalan menuju sebuah tempat duduk yang kulihat kosong. Bersama seorang cowok. Ini pertama kalinya aku duduk sedekat ini dengan cowok selain Papa. Canggung? Sudah pasti aku rasakan. Namun beberapa saat kemudian cowok itu mengulurkan tangannya.
            “Gue Andreas. Salam kenal!”, katanya, sambil menyunggingkan bibirnya.
            Aku meraih tangannya, membalas jabatannya yang ramah. Namun aku masih saja tak bisa membuang jauh-jauh rasa canggungku. Memang, kata Papa aku mengidap suatu syndrome yang membuatku selalu merasa canggung terhadap orang-orang dan suasana baru. Termasuk lingkungan baru. Dan tahap penyesuaian diriku memang berbeda dengan orang lain. Waktuku untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, suasana dan orang-orang baru terbilang cukup lama. Maka dari itu, sebelum aku masuk ke sekolah umum ini, sejak aku menginjak kelas tiga SD, aku mengikuti Home Schooling. Dari situ aku jarang sekali bertemu orang-orang baru. Hanya kali ini, saat Papa mengatakan bahwa beliau harus dipindah tugaskan ke Bandung, aku terpaksa harus menyesuaikan diri lagi, yang sangat sulit kulakukan.
            “…Papa gue bilang, udah saatnya gue bisa membuka diri dengan orang-orang luar.”, jelasku.
            An, panggilan Andreas, seorang pendengar yang baik. Ia juga cowok yang ramah. Selain mendapat pengakuan dari guru kelas Kimia yang tadi mengajar kami bahwa An adalah murid yang cerdas, kurasa dia punya kelebihan lain. An mampu membuat orang dengan syndrome aneh sepertiku dengan mudah dapat langsung bercengkrama dengannya.
            Sekolah mulai sunyi. Hanya beberapa siswa saja yang masih sibuk mondar-mandir dengan berbagai kesibukannya masing-masing. Tiba-tiba seseorang menghampiriku dengan sepeda putihnya.
            “Nunggu jemputan?”, tanyanya.
            Aku hanya mengangguk.
            “Ikut gue aja. Sekalian, rumah kita kan satu arah.”, An turun dari sepedanya dan duduk disebelahku.
            Ia menengadah ke langit. Lalu sedetik kemudian kembali menatap kearahku. Ia kembali menawarkan ‘jasa’nya. Aku sedikit berfikir. Dan kurasa, tak ada salahnya menerima tawaran An. Aku duduk didepan An. Baru pertama kali ini aku naik sepeda. Sungguh. Apalagi dengan seorang cowok yang belum genap satu hari kukenal. Tapi aku bisa merasakan kenyamanan disisinya. Disisi seorang An.
            Angin berhembus menerpa rambutku. An semakin kencang mengayuh sepedanya ketika kami melewati sebuah tanjakan. Dan, whuuuuuuuu…..! Aku serasa dihempaskan oleh angin dan terbang. Jalan menurun yang cukup membuat perutku sedikit mual. Namun aku begitu senang dan tawa kami sangat lepas.
            Aku berbalik dan menatapnya. Ia tersenyum. Dan seketika waktu seakan berhenti berputar. Berhenti dan semua yang ada juga ikut tak bergerak. Hanya aku dan An yang saling menyunggingkan senyuman satu sama lain. Dan hanya detak jantung juga desah angin yang dapat terdengar. Aku semakin menatap mata cokelatnya lekat-lekat. Ia terlihat sangat indah. Jantungku semakin kencang mengguncang dadaku. Dan…
            “Kita udah sampe.”, sebuah suara membuyarkan lamunanku.
            Aku turun dari sepeda An.
            “Thank’s!”, ucapku pelan.
            An mengangguk dan tersenyum. Sebelum akhirnya dikayuh sepedanya yang terlihat begitu istimewa di mataku. Perasaanku campur aduk. Antara senang, deg-degan, lucu, gembira. Mungkin semua itu seperti sama saja. Namun sungguh, aku merasakan hatiku dipenuhi permen warna-warni. Aku mulai menggabungkan satu demi satu mozaik kejadian hari ini. Saat An tersenyum untuk pertama kalinya padaku. Saat ia mengulurkan tangannya. Saat ia menghampiriku dan saat kami tertawa lepas. Semuanya dapat kuingat dan tergambar jelas. Sampai-sampai aku tersenyum sendiri, dan apa yang Pak Amin, sopir yang sudah enam belas tahun melayani keluargaku, katakan sama sekali tak kugubris.
            “Neng, besok-besok lagi jangan pulang sendirian, ya? Neng Monic tungguin Pak Amin dulu. Ini kan tugas Pak Amin. Kalo Bapak tau eneng pulang sendirian kayak tadi, bisa-bisa Pak Amin di omelin Bapak, neng.”
***
            Aku menjabat tangan Papa dan mencium pipinya sebelum aku turun dari mobil. Aku berjalan riang menuju kelasku. Sekolah masih sepi. Kurasa masih terlalu pagi. Namun aku tak sendirian. An sudah asyik dengan laptopnya. Jari jemarinya asyik menari mengetikkan satu demi satu karakter yang muncul di layar laptopnya. Aku meletakkan tasku dan melirik apa yang sedang dikerjakannya. Sebuah program di Corral Draw sedang asyik dikerjakannya.
            “Bikin apa?”, tanyaku.
            “Bukan apa-apa. Buat mading edisi minggu ini.”, jawab An ramah.
            Aku mengamati pekerjaannya. Selain cerdas, ternyata An juga kreatif, pikirku. Aku duduk disebelahnya. Kupandangi sosok An. Ternyata dia manis juga. Bukan! Bukan hanya manis, melainkan dia adalah makhluk Tuhan yang sempurna. Dan aku rasa, aku jatuh…
            “Udah pilih ekskul?”, tanya An seketika.
            Aku kembali tersadar dari fatamorgana akan sosok An. Sesaat kemudian, aku menggeleng. An menyodorkan selembar kertas tentang ekstrakulikuler mading.
            “Kalo minat gabung aja. Mmm… kebetulan gue ketua ekskulnya.”, ungkap An, sebelum akhirnya ia tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.
            Langit mengatup. Suasana langit senja mulai memayungi Bandung. Aku duduk di lobby sekolah menunggu seseorang. Kali ini bukan Pak Amin yang kutunggu. Berulang kali kulirik jam tanganku. Pukul lima sore. Aku kembali melihat ke sekeliling. Sekolah sudah sangat sepi. Tapi aku akan tetap disini. Tak lama kemudian, sosok yang kunantikan datang juga. Aku bangun dari tempatku dan menghampirinya. An menghentikan laju sepedanya.
            Entah mengapa tiba-tiba nafasku terasa sesak dan jantungku berdegup satu juta kali lebih cepat. Apa yang kulakukan ini terlihat seperti gadis murahan? Ah, semoga tidak. Dan sepertinya An sudah tahu maksudku. Ia mempersilakan aku membonceng sepedanya.
            Sepeda An meluncur cepat. Malam mulai menggelayuti dan dinginnya udara Bandung mulai menyergap. Tujuan kami sebelum pulang adalah café mini yang tak jauh letaknya dari sekolah. Hari ini aku memang sengaja ‘menyewa’ An untuk menemaniku jalan-jalan. Kupikir, tak ada salahnya juga aku menyesuaikan diri dengan apa yang ada di Bandung. Bukan hanya orang-orang dan lingkungan sekitarku saja.
            Kami sampai di tempat tujuan kami. Café mini yang menyuguhkan beraneka macam kue-kue kecil manis. Namun seketika aku merasa syndrome ku kembali. Melihat sebegitu banyak manusia-manusia didepan mataku, aku seakan ingin mundur. Nyaliku kembali menipis. Rasanya ingin sekali aku berteriak dan lari. Namun An menggenggam erat tanganku. Ia menatap mataku lekat-lekat dan meyakinkanku semuanya akan baik-baik saja. Dia akan selalu ada didekatku.
            Kakiku kembali bergetar. Sekali lagi, aku harus mengetukkan kakiku beberapa kali agar rasa tegang yang kualami tidak terlalu parah. An kembali menatapku lekat-lekat dan sedetik kemudian tersenyum untukku. Cukup dengan senyumnya, kurasa aku bisa dengan mudah menghilangkan rasa takut dan canggungku. Aku kini merasa benar-benar aman. Setelah kutarik nafas sedalam mungkin, aku mulai merasa semuanya baik-baik saja selama ada An. Dan malam itu, kami bisa mengobrol hangat cukup lama.
            Malam tak terlalu berpihak pada kami. Suasana Bandung yang seharian berawan akhirnya diakhiri dengan hujan. Cukup deras memang. Dan terpaksa kami harus berteduh sejenak di teras café karena café sudah tutup. Aku mulai menggigil. Sekujur tubuhku basah oleh hujan. An terlihat mengambil sesuatu di tasnya dan dikeluarkannya sebuah jaket yang langsung dipakaikannya padaku. Aku merasa seperti ada dalam sebuah adegan di film-film romantis. Dan tak kusangka ternyata An juga menggenggam tanganku cukup erat. Sesekali diusapnya tanganku untuk membuatku merasa hangat. Apakah ini benar nyata terjadi padaku? Atau hanya mimpi? Kalau ini mimpi, aku minta izin untuk tidak dibangunkan selama beberapa waktu. Namun jika benar terjadi dalam kehidupan nyataku, biarkan ini berlangsung lama. Maksudku, biarlah hujan ini semalaman terus mengguyur dan tak jua reda. Agar semalaman ini juga aku dapat berada disisi An dan merasakan hangatnya tangan An.
            “Aaahhhh!”
            Tiba-tiba suara petir bergema dan memekakkan telingaku. Aku pejamkan mataku dan sesaat setelah bunyi petir itu menghilang, aku baru sadar ternyata aku sudah ada di dekapan An. Aku merasakan hangat dan aroma tubuh An yang khas. Tak lama kemudian kami saling pandang. Ia menatap mataku lekat-lekat. Aku juga memandang mata coklatnya yang indah. Dan perlahan ia semakin mendekatiku. Jantungku kembali menabuhkan genderang. Aku menelan ludahku dengan berat. Kini jarak antara wajah An dan aku benar-benar sudah sangat dekat. Sampai-sampai setiap desahan nafasnya yang beradu terdengar di telingaku. Aku hanya dapat berdiri diam tak dapat bergerak. Entah kedua kakiku kaku karena dinginnya malam ini atau karena An. Perlahan namun pasti, jarak kami sudah melebihi dari dekat. Aku pejamkan kedua mataku dan berusaha menikmati apa yang terjadi; dentum detak jantung yang semakin menjadi juga desahan nafasku dan An yang saling beradu.
            Shraaaassssshhh!!
            Sebuah mobil sedan melaju cepat dan mencipratkan genangan air kearahku dan An. An sedikit berjingkat dari tempatnya. Ia sedikit melirikku namun kali ini agak sedikit canggung. Seragam putihku seketika berubah menjadi coklat muda. Perutku cukup geli dengan apa yang baru saja terjadi. Aku tertawa kecil sambil melirik kearah An. An balas menatapku yang tertawa geli. Ia menggaruk kepalanya dan beberapa saat kemudian ikut tertawa, walau masih tersirat kecanggungan di wajahnya.
***
            Aku berjalan riang sambil bernyanyi kecil. Menenteng sebuah kantung plastik berisikan beberapa makanan kecil dan minuman. Kakiku melangkah menuju sebuah ruangan di sudut sekolah. Pintunya sedikit terbuka. Kulihat kesekeliling, namun yang ada hanya sebuah laptop yang masih terbuka. Aku mendekatinya, meletakkan bawaanku diatas meja kerja. Kuletakkan jari-jariku diatas keyboard. Disini biasanya jemari An asyik menari sambil menuangkan inspirasinya. Aku tersenyum. Namun seketika aku sedikit berjingkat. Terlihat noda darah di jari-jariku. Tapi aku tidak sama sekali terluka. Aku kembali melihat dan mengamati keyboard laptop An. Dan benar saja, ada beberapa tetes noda darah disana. Aku mulai celingukan. Seketika seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku berbalik dan mendapati sosok An yang sedang menyumpat lubang hidungnya dengan tisu.
            Ia kemudian mengambil tas belanjaan yang kubawa dan mengambil dua pocary. An masih diam. Dan aku mengamatinya lebih dalam.
            “Kenapa?”, tanyaku.
            “Gak.”, nadanya terkesan dingin.
            Aku menarik tangan An ketika ia hendak keluar ruangan. Ia menatapku. Masih tak bersuara. Aku seakan terjebak dalam suasana hening yang tak bertepi.
            “Mimisan lagi?”, aku tertunduk lesu, masih memegangi tangan An erat.
            An berusaha melepaskan genggamanku yang semakin erat. Dan ia berhasil. An melenggang menjauh dariku.
            “Aku cuma gak pengen kamu kenapa-napa. Cukup check up ke dokter udah gitu doang, kan? Kenapa susah banget!”, aku bangun dari tempat dudukku.
            An menghentikan langkahnya. Dalam hening aku terisak. Entah apa alasanku sampai air mataku bisa meluap seperti ini. Akhir-akhir ini An memang sering sekali mimisan. Dan aku juga merasa sifatnya banyak berubah terhadapku. Lima bulan sudah aku dan An menjalin sebuah hubungan special, namun baru akhir-akhir ini sikap An menjadi dingin tak bersahabat. Tanganku meraih tangan An dan menggenggamnya erat. Ditengah keheningan An menarikku dalam dekapannya. Ia mengusap pundakku pelan.
            “Semuanya baik-baik aja. Jangan khawatirin aku terlalu berlebihan. Oke?”, ucapnya lembut.
            Aku menenggelamkan kepalaku dalam dekapan hangat An. Dan semakin erat aku memeluknya.
***
            Kincir angin, komedi putar, serta hampir semua wahana di dunia fantasi ini sudah aku dan An jamahi. Hari ini An memang sengaja mengajakku ke taman hiburan hanya berdua. Bisa dibilang ini adalah kencan. Lima bulan menjalin sebuah hubungan dan inilah kali pertama kami nge-date. Agak aneh memang, tapi karena kesibukan kami masing-masing jadi urusan seperti ini kami kesampingkan terlebih dahulu. Walaupun aku banyak sekali mendapat kekecewaan.
            Petang menjelang. Namun rasanya aku tak mau beranjak dari tempat ini. Apalagi harus berpisah dengan An walau hanya semalam.
            “Mmh, haus gak? Aku beli soda bentar, ya?”, kataku yang langsung berlari meninggalkan An.
            Tak butuh waktu lama. Aku kembali dengan membawa dua kaleng soda kesukaan An. Kusodorkan satu untuknya yang berdiri memunggungiku. Namun ia tak menggubris kata-kataku. Aku menarik pundaknya lebih keras dan aku terkejut melihat hidung An yang tak henti-hentinya mengeluarkan darah.
            “Kita ke rumah sakit sekarang. Gak ada tapi-tapian!”, paksaku tegas.
            Kami tiba disebuah klinik milik Om An. An memintaku membawanya kesana daripada ke rumah sakit. Kini An benar-benar pucat. Jarum infuse terpasang di tangan kirinya. Nafas An naik turun seiring dengan detik yang terus berputar. Namun ia menggenggam erat tanganku dan tersenyum.
            “Udah. Aku bilang kan semuanya baik-baik aja. Gak per…”
            “Gak perlu khawatirin kamu! Apa kamu udah gila?”, potongku segera.
            Aku tertunduk lesu. Aku terisak dan tubuhku terguncang semakin kuat. Aku tak kuasa menahan tanggul air mataku ketika dokter yang juga Om An mengatakan bahwa sepupunya itu mengidap leukemia atau kanker darah.
            “Stadium empat. Dan An masih tidak mau untuk menjalani kemo therapy.”, jelas dokter.
            Bibirku kelu mendapati apa yang terjadi. Aku serasa terhempas sebuah badai hebat yang membawaku ke negeri antah-berantah. Aku memeluk An yang masih terbaring. Dan kembali menitikkan air mataku.
***
Aku memandangi An yang berusaha menelan satu per satu  berbagai macam obat untuk penyakitnya. Ia terlihat begitu menikmatinya dan menganggap semua obat itu seperti sebuah permen warna-warni yang manis. Namun, dapat kurasakan, An begitu tersiksa. Hingga akhirnya kurebut berbagai obat yang ada ditangannya dan aku menelannya. An nampak terkejut. Wajahnya yang semakin hari bertambah pucat itu pun memandangiku. Aku masih berusaha menelan semua obat An. Hingga akhirnya An menghentikanku. Suasana kembali hening. Aku kembali terisak. Nafasku mulai sesak menahan air mata yang sedari tadi kutahan.
"Cukup, Dan!", ucap An tegas.
An menarikku dan memelukku erat. Dalam dekapannya dapat kudengar isakan An yang juga tertahan. Ia mengusap lembut rambutku. Mencium keningku.
Malam semakin larut. Dan keadaan pun menjadi lebih baik. Kini aku terbaring dan bersandar di lengan An. Tangannya masih membelai lembut rambutku. Kami memandangi bintang di langit. Begitu indah.
"Kalau aku pergi nanti, aku janji akan jadi bintang kamu yang paling terang.", ucap An sambil menyunggingkan senyumannya.
Aku tak bisa membalas kata-katanya. Bibirku seakan beku. Hanya air mata yang dapat menggambarkan suasana hatiku malam ini. Aku benar-benar tak tahu apa yang  harus kulakukan. Menangis memang tak akan mengembalikan keadaan menjadi seperti semula. Seperti pada saat aku dan An selalu dipenuhi dengan canda tawa setiap harinya. Saat An selalu membawaku puas mengelilingi Bandung dengan sepedanya.
Aku memeluknya. Memeluk An dengan erat dan tak ingin sedetikpun melepasnya. Aku merindukan masa-masa itu. Masa-masa yang sepertinya hanya beberapa menit berlalu.
"Aku sayang sama kamu. Sama seorang gadis yang bernama Monica Shamita. Sayang banget!", An balas memelukku.
Aku sedikit tersenyum.
"Aku juga. Aku juga sayang kamu. Sama seorang cowok yang bernama Andreas Prama Putra. Sayaaaang banget.", balasku.
***
'Angin bertiup lembut. Membawa indahnya fatamorganaku kesebuah ruang tak bertepi. Aku terpaku. Menantikan sebuah angan konyol. Angan akan fatamorganaku yang nyata. Aku merasa diriku bagaikan sebatang pohon. Yang berdiri tegap dihantam badai. Namun berkali-kali badai menerjangku, sebuah pohon yang berdiri tegap, akhirnya kutemui sebuah titik dimana sang waktu yang akan menghempasku.
Daun-daunku beterbangan ditiup angin. Satu persatu meninggalkanku. Hingga akhirnya hanya sehelai daun kering di ujung dahanku yang menemani. Namun ia berbisik, "aku harus mengikuti kemana angin akan menerbangkanku". Ia terbang. Meninggalkanku dalam kesepian.
Dalam sebuah kesedihan, fatamorganaku datang. Membelai lembut dan berbisik, "Aku disini, fatamorgana yang dulu hanyalah sebuah anganmu, akan menjadikan diriku sebagai daun-daun yang telah meninggalkanmu. Dan aku tak akan pernah layu.'
Dalam keheningan, ia bersandar. Mengikatkan suatu arti kebahagiaan yang tak lagi hanyalah sebuah fatamorgana semu.'
Aku meremas kuat selembar kertas ditanganku. Air mataku mulai menggenang di pelupuk mata. Aku menggigit bibirku kuat-kuat. Disebuah bangku taman panjang ini aku termenung. Hening, sunyi. Desah nafas dan harum tubuh An seakan masih dapat kurasakan. Aku merindukan sosok An. Aku ingin menggenggam tangannya. Memeluknya dan berjuta kali mengucapkan janji bahwa aku mencintainya.
Langit semakin redup. Aku menengadah di bawah sang jingga. Sebuah bintang nampak berkelap-kelip. Lebih terang dibanding bintang yang lainnya. Perlahan senyumku mengembang. Tanganku berusaha menggapai bintang itu. Aku merasa seakan bintang itu tersenyum ramah kearahku. An, sosok yang kurindukan. Janjinya yang akan selalu menjadi sebuah bintang paling terang untukku telah ditepatinya.
Hembusan angin malam itu terasa bagai belaian lembut An. Aku mulai menerima apa yang telah terjadi. An tidak benar-benar pergi. Dia tak meninggalkanku.
"Terimakasih An. Terimakasih untuk segalanya.", bisikku kepada sang bintang  yang menemaniku malam ini.