Kaki ku bergetar.
Padahal belum genap dua menit aku berdiri disini. Semua mata yang memandangku
seakan menjadikan nyaliku semakin menipis. Untuk itu kulakukan kebiasaanku.
Mengetukkan kakiku ke lantai.
“Silahkan…”, sebuah suara
membuyarkan lamunanku.
Ketukan kakiku terhenti. Aku mulai
dapat fokus memandangi satu per satu penghuni di ruangan ini. Bibirku yang kaku
perlahan dapat ku gerakkan.
“Aku Monica. Pindahan dari Bogor.”,
suaraku sedikit bergetar.
Kemudian aku berjalan menuju sebuah
tempat duduk yang kulihat kosong. Bersama seorang cowok. Ini pertama kalinya
aku duduk sedekat ini dengan cowok selain Papa. Canggung? Sudah pasti aku
rasakan. Namun beberapa saat kemudian cowok itu mengulurkan tangannya.
“Gue Andreas. Salam kenal!”,
katanya, sambil menyunggingkan bibirnya.
Aku meraih tangannya, membalas
jabatannya yang ramah. Namun aku masih saja tak bisa membuang jauh-jauh rasa
canggungku. Memang, kata Papa aku mengidap suatu syndrome yang membuatku selalu
merasa canggung terhadap orang-orang dan suasana baru. Termasuk lingkungan
baru. Dan tahap penyesuaian diriku memang berbeda dengan orang lain. Waktuku
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, suasana dan orang-orang baru
terbilang cukup lama. Maka dari itu, sebelum aku masuk ke sekolah umum ini,
sejak aku menginjak kelas tiga SD, aku mengikuti Home Schooling. Dari situ aku jarang sekali bertemu orang-orang
baru. Hanya kali ini, saat Papa mengatakan bahwa beliau harus dipindah tugaskan
ke Bandung, aku terpaksa harus menyesuaikan diri lagi, yang sangat sulit
kulakukan.
“…Papa gue bilang, udah saatnya gue
bisa membuka diri dengan orang-orang luar.”, jelasku.
An, panggilan Andreas, seorang
pendengar yang baik. Ia juga cowok yang ramah. Selain mendapat pengakuan dari
guru kelas Kimia yang tadi mengajar kami bahwa An adalah murid yang cerdas,
kurasa dia punya kelebihan lain. An mampu membuat orang dengan syndrome aneh
sepertiku dengan mudah dapat langsung bercengkrama dengannya.
Sekolah mulai sunyi. Hanya beberapa
siswa saja yang masih sibuk mondar-mandir dengan berbagai kesibukannya
masing-masing. Tiba-tiba seseorang menghampiriku dengan sepeda putihnya.
“Nunggu jemputan?”, tanyanya.
Aku hanya mengangguk.
“Ikut gue aja. Sekalian, rumah kita
kan satu arah.”, An turun dari sepedanya dan duduk disebelahku.
Ia menengadah ke langit. Lalu
sedetik kemudian kembali menatap kearahku. Ia kembali menawarkan ‘jasa’nya. Aku
sedikit berfikir. Dan kurasa, tak ada salahnya menerima tawaran An. Aku duduk
didepan An. Baru pertama kali ini aku naik sepeda. Sungguh. Apalagi dengan
seorang cowok yang belum genap satu hari kukenal. Tapi aku bisa merasakan
kenyamanan disisinya. Disisi seorang An.
Angin berhembus menerpa rambutku. An
semakin kencang mengayuh sepedanya ketika kami melewati sebuah tanjakan. Dan,
whuuuuuuuu…..! Aku serasa dihempaskan oleh angin dan terbang. Jalan menurun
yang cukup membuat perutku sedikit mual. Namun aku begitu senang dan tawa kami
sangat lepas.
Aku berbalik dan menatapnya. Ia
tersenyum. Dan seketika waktu seakan berhenti berputar. Berhenti dan semua yang
ada juga ikut tak bergerak. Hanya aku dan An yang saling menyunggingkan
senyuman satu sama lain. Dan hanya detak jantung juga desah angin yang dapat
terdengar. Aku semakin menatap mata cokelatnya lekat-lekat. Ia terlihat sangat
indah. Jantungku semakin kencang mengguncang dadaku. Dan…
“Kita udah sampe.”, sebuah suara
membuyarkan lamunanku.
Aku turun dari sepeda An.
“Thank’s!”, ucapku pelan.
An mengangguk dan tersenyum. Sebelum
akhirnya dikayuh sepedanya yang terlihat begitu istimewa di mataku. Perasaanku
campur aduk. Antara senang, deg-degan, lucu, gembira. Mungkin semua itu seperti
sama saja. Namun sungguh, aku merasakan hatiku dipenuhi permen warna-warni. Aku
mulai menggabungkan satu demi satu mozaik kejadian hari ini. Saat An tersenyum
untuk pertama kalinya padaku. Saat ia mengulurkan tangannya. Saat ia
menghampiriku dan saat kami tertawa lepas. Semuanya dapat kuingat dan tergambar
jelas. Sampai-sampai aku tersenyum sendiri, dan apa yang Pak Amin, sopir yang
sudah enam belas tahun melayani keluargaku, katakan sama sekali tak kugubris.
“Neng, besok-besok lagi jangan
pulang sendirian, ya? Neng Monic tungguin Pak Amin dulu. Ini kan tugas Pak
Amin. Kalo Bapak tau eneng pulang sendirian kayak tadi, bisa-bisa Pak Amin di
omelin Bapak, neng.”
***
Aku menjabat tangan Papa dan mencium
pipinya sebelum aku turun dari mobil. Aku berjalan riang menuju kelasku.
Sekolah masih sepi. Kurasa masih terlalu pagi. Namun aku tak sendirian. An
sudah asyik dengan laptopnya. Jari jemarinya asyik menari mengetikkan satu demi
satu karakter yang muncul di layar laptopnya. Aku meletakkan tasku dan melirik
apa yang sedang dikerjakannya. Sebuah program di Corral Draw sedang asyik dikerjakannya.
“Bikin apa?”, tanyaku.
“Bukan apa-apa. Buat mading edisi
minggu ini.”, jawab An ramah.
Aku mengamati pekerjaannya. Selain
cerdas, ternyata An juga kreatif, pikirku. Aku duduk disebelahnya. Kupandangi
sosok An. Ternyata dia manis juga. Bukan! Bukan hanya manis, melainkan dia
adalah makhluk Tuhan yang sempurna. Dan aku rasa, aku jatuh…
“Udah pilih ekskul?”, tanya An
seketika.
Aku kembali tersadar dari
fatamorgana akan sosok An. Sesaat kemudian, aku menggeleng. An menyodorkan
selembar kertas tentang ekstrakulikuler mading.
“Kalo minat gabung aja. Mmm…
kebetulan gue ketua ekskulnya.”, ungkap An, sebelum akhirnya ia tersenyum dan
melanjutkan pekerjaannya.
Langit mengatup. Suasana langit
senja mulai memayungi Bandung. Aku duduk di lobby sekolah menunggu seseorang.
Kali ini bukan Pak Amin yang kutunggu. Berulang kali kulirik jam tanganku.
Pukul lima sore. Aku kembali melihat ke sekeliling. Sekolah sudah sangat sepi.
Tapi aku akan tetap disini. Tak lama kemudian, sosok yang kunantikan datang
juga. Aku bangun dari tempatku dan menghampirinya. An menghentikan laju
sepedanya.
Entah mengapa tiba-tiba nafasku
terasa sesak dan jantungku berdegup satu juta kali lebih cepat. Apa yang
kulakukan ini terlihat seperti gadis murahan? Ah, semoga tidak. Dan sepertinya
An sudah tahu maksudku. Ia mempersilakan aku membonceng sepedanya.
Sepeda An meluncur cepat. Malam
mulai menggelayuti dan dinginnya udara Bandung mulai menyergap. Tujuan kami
sebelum pulang adalah café mini yang tak jauh letaknya dari sekolah. Hari ini
aku memang sengaja ‘menyewa’ An untuk menemaniku jalan-jalan. Kupikir, tak ada
salahnya juga aku menyesuaikan diri dengan apa yang ada di Bandung. Bukan hanya
orang-orang dan lingkungan sekitarku saja.
Kami sampai di tempat tujuan kami.
Café mini yang menyuguhkan beraneka macam kue-kue kecil manis. Namun seketika
aku merasa syndrome ku kembali. Melihat sebegitu banyak manusia-manusia didepan
mataku, aku seakan ingin mundur. Nyaliku kembali menipis. Rasanya ingin sekali
aku berteriak dan lari. Namun An menggenggam erat tanganku. Ia menatap mataku
lekat-lekat dan meyakinkanku semuanya akan baik-baik saja. Dia akan selalu ada
didekatku.
Kakiku kembali bergetar. Sekali
lagi, aku harus mengetukkan kakiku beberapa kali agar rasa tegang yang kualami
tidak terlalu parah. An kembali menatapku lekat-lekat dan sedetik kemudian
tersenyum untukku. Cukup dengan senyumnya, kurasa aku bisa dengan mudah
menghilangkan rasa takut dan canggungku. Aku kini merasa benar-benar aman.
Setelah kutarik nafas sedalam mungkin, aku mulai merasa semuanya baik-baik saja
selama ada An. Dan malam itu, kami bisa mengobrol hangat cukup lama.
Malam tak terlalu berpihak pada
kami. Suasana Bandung yang seharian berawan akhirnya diakhiri dengan hujan.
Cukup deras memang. Dan terpaksa kami harus berteduh sejenak di teras café
karena café sudah tutup. Aku mulai menggigil. Sekujur tubuhku basah oleh hujan.
An terlihat mengambil sesuatu di tasnya dan dikeluarkannya sebuah jaket yang
langsung dipakaikannya padaku. Aku merasa seperti ada dalam sebuah adegan di
film-film romantis. Dan tak kusangka ternyata An juga menggenggam tanganku
cukup erat. Sesekali diusapnya tanganku untuk membuatku merasa hangat. Apakah
ini benar nyata terjadi padaku? Atau hanya mimpi? Kalau ini mimpi, aku minta
izin untuk tidak dibangunkan selama beberapa waktu. Namun jika benar terjadi
dalam kehidupan nyataku, biarkan ini berlangsung lama. Maksudku, biarlah hujan
ini semalaman terus mengguyur dan tak jua reda. Agar semalaman ini juga aku
dapat berada disisi An dan merasakan hangatnya tangan An.
“Aaahhhh!”
Tiba-tiba suara petir bergema dan
memekakkan telingaku. Aku pejamkan mataku dan sesaat setelah bunyi petir itu
menghilang, aku baru sadar ternyata aku sudah ada di dekapan An. Aku merasakan
hangat dan aroma tubuh An yang khas. Tak lama kemudian kami saling pandang. Ia
menatap mataku lekat-lekat. Aku juga memandang mata coklatnya yang indah. Dan
perlahan ia semakin mendekatiku. Jantungku kembali menabuhkan genderang. Aku
menelan ludahku dengan berat. Kini jarak antara wajah An dan aku benar-benar
sudah sangat dekat. Sampai-sampai setiap desahan nafasnya yang beradu terdengar
di telingaku. Aku hanya dapat berdiri diam tak dapat bergerak. Entah kedua
kakiku kaku karena dinginnya malam ini atau karena An. Perlahan namun pasti,
jarak kami sudah melebihi dari dekat. Aku pejamkan kedua mataku dan berusaha
menikmati apa yang terjadi; dentum detak jantung yang semakin menjadi juga
desahan nafasku dan An yang saling beradu.
Shraaaassssshhh!!
Sebuah mobil sedan melaju cepat dan
mencipratkan genangan air kearahku dan An. An sedikit berjingkat dari
tempatnya. Ia sedikit melirikku namun kali ini agak sedikit canggung. Seragam
putihku seketika berubah menjadi coklat muda. Perutku cukup geli dengan apa
yang baru saja terjadi. Aku tertawa kecil sambil melirik kearah An. An balas
menatapku yang tertawa geli. Ia menggaruk kepalanya dan beberapa saat kemudian
ikut tertawa, walau masih tersirat kecanggungan di wajahnya.
***
Aku berjalan riang sambil bernyanyi
kecil. Menenteng sebuah kantung plastik berisikan beberapa makanan kecil dan
minuman. Kakiku melangkah menuju sebuah ruangan di sudut sekolah. Pintunya
sedikit terbuka. Kulihat kesekeliling, namun yang ada hanya sebuah laptop yang
masih terbuka. Aku mendekatinya, meletakkan bawaanku diatas meja kerja.
Kuletakkan jari-jariku diatas keyboard. Disini biasanya jemari An asyik menari
sambil menuangkan inspirasinya. Aku tersenyum. Namun seketika aku sedikit
berjingkat. Terlihat noda darah di jari-jariku. Tapi aku tidak sama sekali
terluka. Aku kembali melihat dan mengamati keyboard laptop An. Dan benar saja,
ada beberapa tetes noda darah disana. Aku mulai celingukan. Seketika seseorang
menepuk pundakku dari belakang. Aku berbalik dan mendapati sosok An yang sedang
menyumpat lubang hidungnya dengan tisu.
Ia kemudian mengambil tas belanjaan
yang kubawa dan mengambil dua pocary. An masih diam. Dan aku mengamatinya lebih
dalam.
“Kenapa?”, tanyaku.
“Gak.”, nadanya terkesan dingin.
Aku menarik tangan An ketika ia
hendak keluar ruangan. Ia menatapku. Masih tak bersuara. Aku seakan terjebak
dalam suasana hening yang tak bertepi.
“Mimisan lagi?”, aku tertunduk lesu,
masih memegangi tangan An erat.
An berusaha melepaskan genggamanku
yang semakin erat. Dan ia berhasil. An melenggang menjauh dariku.
“Aku cuma gak pengen kamu
kenapa-napa. Cukup check up ke dokter udah gitu doang, kan? Kenapa susah
banget!”, aku bangun dari tempat dudukku.
An menghentikan langkahnya. Dalam
hening aku terisak. Entah apa alasanku sampai air mataku bisa meluap seperti
ini. Akhir-akhir ini An memang sering sekali mimisan. Dan aku juga merasa
sifatnya banyak berubah terhadapku. Lima bulan sudah aku dan An menjalin sebuah
hubungan special, namun baru akhir-akhir ini sikap An menjadi dingin tak
bersahabat. Tanganku meraih tangan An dan menggenggamnya erat. Ditengah
keheningan An menarikku dalam dekapannya. Ia mengusap pundakku pelan.
“Semuanya baik-baik aja. Jangan
khawatirin aku terlalu berlebihan. Oke?”, ucapnya lembut.
Aku menenggelamkan kepalaku dalam
dekapan hangat An. Dan semakin erat aku memeluknya.
***
Kincir angin, komedi putar, serta
hampir semua wahana di dunia fantasi ini sudah aku dan An jamahi. Hari ini An
memang sengaja mengajakku ke taman hiburan hanya berdua. Bisa dibilang ini
adalah kencan. Lima bulan menjalin sebuah hubungan dan inilah kali pertama kami
nge-date. Agak aneh memang, tapi
karena kesibukan kami masing-masing jadi urusan seperti ini kami kesampingkan
terlebih dahulu. Walaupun aku banyak sekali mendapat kekecewaan.
Petang menjelang. Namun rasanya aku
tak mau beranjak dari tempat ini. Apalagi harus berpisah dengan An walau hanya
semalam.
“Mmh, haus gak? Aku beli soda
bentar, ya?”, kataku yang langsung berlari meninggalkan An.
Tak butuh waktu lama. Aku kembali
dengan membawa dua kaleng soda kesukaan An. Kusodorkan satu untuknya yang
berdiri memunggungiku. Namun ia tak menggubris kata-kataku. Aku menarik
pundaknya lebih keras dan aku terkejut melihat hidung An yang tak
henti-hentinya mengeluarkan darah.
“Kita ke rumah sakit sekarang. Gak
ada tapi-tapian!”, paksaku tegas.
Kami tiba disebuah klinik milik Om
An. An memintaku membawanya kesana daripada ke rumah sakit. Kini An benar-benar
pucat. Jarum infuse terpasang di
tangan kirinya. Nafas An naik turun seiring dengan detik yang terus berputar.
Namun ia menggenggam erat tanganku dan tersenyum.
“Udah. Aku bilang kan semuanya
baik-baik aja. Gak per…”
“Gak perlu khawatirin kamu! Apa kamu
udah gila?”, potongku segera.
Aku tertunduk lesu. Aku terisak dan
tubuhku terguncang semakin kuat. Aku tak kuasa menahan tanggul air mataku
ketika dokter yang juga Om An mengatakan bahwa sepupunya itu mengidap leukemia atau kanker darah.
“Stadium empat. Dan An masih tidak
mau untuk menjalani kemo therapy.”, jelas dokter.
Bibirku kelu mendapati apa yang
terjadi. Aku serasa terhempas sebuah badai hebat yang membawaku ke negeri
antah-berantah. Aku memeluk An yang masih terbaring. Dan kembali menitikkan air
mataku.
***
Aku memandangi An yang berusaha menelan satu per
satu berbagai macam obat untuk
penyakitnya. Ia terlihat begitu menikmatinya dan menganggap semua obat itu
seperti sebuah permen warna-warni yang manis. Namun, dapat kurasakan, An begitu
tersiksa. Hingga akhirnya kurebut berbagai obat yang ada ditangannya dan aku
menelannya. An nampak terkejut. Wajahnya yang semakin hari bertambah pucat itu
pun memandangiku. Aku masih berusaha menelan semua obat An. Hingga akhirnya An
menghentikanku. Suasana kembali hening. Aku kembali terisak. Nafasku mulai
sesak menahan air mata yang sedari tadi kutahan.
"Cukup, Dan!", ucap An tegas.
An menarikku dan memelukku erat. Dalam dekapannya
dapat kudengar isakan An yang juga tertahan. Ia mengusap lembut rambutku.
Mencium keningku.
Malam semakin larut. Dan keadaan pun menjadi lebih
baik. Kini aku terbaring dan bersandar di lengan An. Tangannya masih membelai
lembut rambutku. Kami memandangi bintang di langit. Begitu indah.
"Kalau aku pergi nanti, aku janji akan jadi
bintang kamu yang paling terang.", ucap An sambil menyunggingkan
senyumannya.
Aku tak bisa membalas kata-katanya. Bibirku seakan
beku. Hanya air mata yang dapat menggambarkan suasana hatiku malam ini. Aku
benar-benar tak tahu apa yang harus
kulakukan. Menangis memang tak akan mengembalikan keadaan menjadi seperti
semula. Seperti pada saat aku dan An selalu dipenuhi dengan canda tawa setiap
harinya. Saat An selalu membawaku puas mengelilingi Bandung dengan sepedanya.
Aku memeluknya. Memeluk An dengan erat dan tak ingin
sedetikpun melepasnya. Aku merindukan masa-masa itu. Masa-masa yang sepertinya
hanya beberapa menit berlalu.
"Aku sayang sama kamu. Sama seorang gadis yang bernama
Monica Shamita. Sayang banget!", An balas memelukku.
Aku sedikit tersenyum.
"Aku juga. Aku juga sayang kamu. Sama seorang
cowok yang bernama Andreas Prama Putra. Sayaaaang banget.", balasku.
***
'Angin bertiup lembut. Membawa indahnya
fatamorganaku kesebuah ruang tak bertepi. Aku terpaku. Menantikan sebuah angan
konyol. Angan akan fatamorganaku yang nyata. Aku merasa diriku bagaikan
sebatang pohon. Yang berdiri tegap dihantam badai. Namun berkali-kali badai
menerjangku, sebuah pohon yang berdiri tegap, akhirnya kutemui sebuah titik
dimana sang waktu yang akan menghempasku.
Daun-daunku beterbangan ditiup angin. Satu
persatu meninggalkanku. Hingga akhirnya hanya sehelai daun kering di ujung
dahanku yang menemani. Namun ia berbisik, "aku harus mengikuti kemana
angin akan menerbangkanku". Ia terbang. Meninggalkanku dalam kesepian.
Dalam sebuah kesedihan, fatamorganaku
datang. Membelai lembut dan berbisik, "Aku disini, fatamorgana yang dulu
hanyalah sebuah anganmu, akan menjadikan diriku sebagai daun-daun yang telah
meninggalkanmu. Dan aku tak akan pernah layu.'
Dalam keheningan,
ia bersandar. Mengikatkan suatu arti kebahagiaan yang tak lagi hanyalah sebuah
fatamorgana semu.'
Aku meremas kuat selembar kertas ditanganku. Air
mataku mulai menggenang di pelupuk mata. Aku menggigit bibirku kuat-kuat.
Disebuah bangku taman panjang ini aku termenung. Hening, sunyi. Desah nafas dan
harum tubuh An seakan masih dapat kurasakan. Aku merindukan sosok An. Aku ingin
menggenggam tangannya. Memeluknya dan berjuta kali mengucapkan janji bahwa aku
mencintainya.
Langit semakin redup. Aku menengadah di bawah sang
jingga. Sebuah bintang nampak berkelap-kelip. Lebih terang dibanding bintang
yang lainnya. Perlahan senyumku mengembang. Tanganku berusaha menggapai bintang
itu. Aku merasa seakan bintang itu tersenyum ramah kearahku. An, sosok yang
kurindukan. Janjinya yang akan selalu menjadi sebuah bintang paling terang
untukku telah ditepatinya.
Hembusan angin malam itu terasa bagai belaian lembut
An. Aku mulai menerima apa yang telah terjadi. An tidak benar-benar pergi. Dia
tak meninggalkanku.
"Terimakasih An. Terimakasih untuk
segalanya.", bisikku kepada sang bintang
yang menemaniku malam ini.